Goenawan mohamad, 2013
Dalam bahasa Arab ada sepasang kata yang tiap kali
diucapkan seorang muslim: “rahman” dan “rahim”. Kata itu sering diterjemahkan
jadi “pengasih dan penyayang”, tapi lebih akurat bahasa Inggris-nya:
compassioniate, dari kata compassion.
Ada yang meng-indonesia-kannya jadi “belarasa”, tapi
saya kira kata “bela” mengandung hadirnya sebuah subyek yang menentukan sebuah
laku, seperti dalam kata “bela diri” atau
“bela sungkawa”. Compassion justru bermula dari saat tak menonjolnya
subyek. Kata “rahim” juga berarti “kandungan”; dalam bahasa Ibrani, riḥam
berakar kata reḥem, artinya “ibu” atau “rahim”. Di
sanalah saat dua pihak bersentuhan akrab, saling menumbuhkan: aku ada bersama
engkau, di dalam engkau, ketika rasa sakit, duka, dan kehilangan melukai
engkau.
Kata “engkau” berarti siapa saja: liyan yang tak
dibatasi identitas, liyan yang satu-satunya cirinya adalah menanggungkan
penderitaan. Itulah saat compassion seperti dalam cerita Yesus tentang seorang
Samaria yang tanpa pamrih menolong seorang Yahudi: menyelamatkan seorang yang
luka-luka karena diserang perampok meskipun ia dan orang itu berasal dari
puak-puak yang saling membenci.
Karena
Armstrong memahami hal ini jauh sebelum ia menulis Twelve Steps to A
Compassionate Life. Ia berbicara tentang kenosis, mengosongkan diri, membuat
“aku” suwung, dan ekstasis, mengeluarkan diri. “Kita paling kreatif dan
menyadari kemungkinan-kemungkinan lain yang melampaui pengalaman kita
sehari-hari ketika kita meninggalkan diri kita”. Itu kalimatnya dalam The Spiral
Staircase: My Climb Out of Darkness.
Buku yang terbit pada 2004 ini kisah pergulatan
batinnya sejak pada 1962 ia masuk ke dalam kehidupan biarawati sampai ketika ia
meninggalkannya — seraya melambai selamat tinggal kepada Tuhan dan imannya.
Perjalanan itu tak mudah.Sebuah puisi memberinya
imaji tentang kegalauan diri itu. Armstrong, yang kemudian masuk ke jurusan
sastra di Oxford, membaca sajak T.S. Eliot Ash Wednesday yang seakan-akan ingin
menyusun doa di hari pertama puasa menjelang Paskah. Ia bayangkan sang penyair
menaiki sebuah tangga spiral: naik, berpusar, berulang, mendaki terus. Dan
biarawati muda itu merasa bahwa ia juga sedang berada dalam tangga
berkelok-kelok ke atas itu: sebuah perjalanan puasa dan taubat. Ia merasa
hatinya yang buncah ditemani baris-baris sajak yang memukau itu: saat-saat yang
selaras berganti-ganti dengan yang ganjil, yang disonan, terkadang
berulang-ulang, sering mengejutkan, tak jarang dalam susunan yang samar. Bahkan
suram, antara tekad dan putus asa:
Because I do not hope to turn again
Because I do not hope
Because I do not hope to turn
Pada mulanya adalah diri yang tak berarti. Di awal
puasa, orang Katolik, tulis Armstrong, “membalur dahi mereka dengan abu untuk
mengingatkan mereka akan kefanaan mereka”. Sebab hanya ketika kita menyadari
kerapuhan dalam fitrah kita, kita akan dapat memulai ikhtiar kita untuk
menjangkau.
Meskipun dalam dirinya tak ada harapan kebangkitan
kembali di ujung tangga spiral itu, tampaknya masih ada sisa makna tradisi itu
ketika Armstrong berbicara tentang kenosis dan ekstasis dalam proses menyatukan
diri dengan liyan, dengan yang di luar diri. Sebaris kalimat dalam Ash
Wednesday bisa mengingatkan hubungan antara ketiadaan ego itu dengan
kebersamaan: Forgetting themselves and each other, united/In the quiet of the
desert. Ketika semua orang“melupakan diri mereka sendiri dan satu sama lain,
mereka pun berpadu, dalam sunyi gurun pasir”.
Menarik, Armstrong mengacu ke sajak Eliot yang
ditulis setelah sang penyair memilih jadi umat Gereja Anglikan (ia sebut
“Anglo-Katolik”), sementara Armstrong sendiri meninggalkan kepercayaan
Katoliknya. Dan lebih radikal, Tuhan tak hadir lagi dalam kehidupannya.
Tapi tak untuk selamanya. Kemudian ia menelaah
agama di luar Kristen, mempelajari Islam dan Yudaisme. Ia pun merasa Tuhan
berarti kembali justru dalam ketidak-hadiran. Armstrong menyebut dirinya
“freelance monotheist”, seorang monotheis yang tak bergabung dalam agama
apapun.Ada yang menyebutnya atheis, tapi baginya, atheisme sebenarnya menampik
Tuhan dalam citra tertentu. Jika Tuhan dilihat sebagai satu ego yang mencampuri
kemerdekaan dan kreatifitas manusia, Ia
mirip tiran di bumi yang membuat siapa saja cuma sekrup dalam mesin yang
dikontrolnya. Dalam hal itu atheisme dapat “dibenarkan”. Bagi Armstrong, Tuhan
patut ditolak bila Ia membuat kita kejam, mudah menghakimi, menghukum, dan
menyingkirkan, jauh dari sifat rahim.
Sebab yang utama adalah bagaimana berbuat
baik. “Cara sejati menghormati Tuhan hanyalah dengan bertindak secara moral
seraya tak menghiraukan bahwa Ia ada,” tulisnya dalam A History of God.
Bertindak secara moral berarti memperlakukan liyan,
mereka yang bukan-aku, sebagai tanda rahmat-Nya. Dalam kalimat yang
mengingatkan kita kepada Emanuel Lévinas, Armstrong mengatakan, kita kadang-kadang
dapat menemukan Tuhan dalam “asingnya seorang asing”, “sebuah sifat asing yang
mula-mula dapat membuat kita jijik tapi dapat menyentakkan kita dari sikap
mementingkan diri sendiri”, meskipun orang itu “bukan bagian dari kelompok
ethnik, agama atau ideologi kita”. Dalam “intonations of that sacred otherness”
itulah kita dengar sabda Tuhan.
Di satu bagian Ash Wednesday ada baris yang
bertanya, akankah suster yang bercadar itu berdoa juga bagi “anak-anak di pintu
gerbang yang tak hendak pergi, yang tak bisa berdoa” — dan juga yang menentang.
Will the veiled sister pray
For children at the gate
Who will not go away and cannot pray:
Pray for those who chose and oppose
Saya yakin, Armstrong akan menjawab “seharusnya”.
Selamat Datang di kerajinan.kaligrafi-masjid.com,
spesialis kerajinan kaligrafi dan lukisan kaligrafi.
Kami membuat kerajinan kaligrafi dari bahan bordir,
fiber, kanvas, kuningan, tembaga, kayu, dll.
Silahkan melihat hasil karya kami ,
suatu kebanggaan bila karya kami dapat menghiasi ruangan anda.
Melalui gubug online ini, kami berharap bisa memberi inspirasi anda dan dengan senang hati kami siap melayani semua kebutuhan akan seni rupa dan kaligrafi, desain artistik, serta beragam produk kerajinan khas Indonesia dengan desain eksklusif.
Berikut ini beberapa jenis kerajinan kaligrafi yang kami tawarkan
Kaligrafi Bordir
Kaligrafi ini ditulis pada selembar kain bludru dengan menggunakan mesin bordir yang digerakkan oleh tangan-tangan terampil. Desain yang digunakan pun sesuai standar kaidah kaligrafi internasional, sehingga menghasilkan karya yang istimewa.
Kerajinan Kaligrafi Fiber
Kaligrafi dan atau kerajinan dari bahan fiber ini lebih menonjolkan unsur-unsur dimensi sehingga menjadikan hasil akhir yang ekslusif, dan tampak indah terpampang di dinding ruangan anda.
Kaligrafi Lukis Kanvas
Melukis adalah salah satu keahlian kami, di tangan kami perpaduan teknik lukisan yang tinggi dengan gaya kaligrafi yang berkaidah menghasilkan karya kaligrafi lukis yang tak perlu diragukan lagi.
Kaligrafi Kuningan
Kuningan dipilih menjadi bahan baku pembuatan kaligrafi ini, karena dengan warna khasnya, kaligrafi kuningan akan terlihat bersahaja. Selain digunakan untuk hiasan masjid, kaligrafi kuningan ini juga sangat cocok berada di dinding rumah anda.
Kaligrafi Lauhah (Tinta)
Kaligrafi lauha (tinta) adalah teknik menulis kaligrafi dengan khandam dan tinta yang dituliskan langsung pada kertas. Teknik ini berkembang pesat di Timur Tengah, dengan tingkat kesulitan yang sangat tinggi.
Kaligrafi Mushaf (Al Quran)
Kaligrafi Mushaf yang dimaksud di sini adalah pembuatan kaligrafi Al Quran lengkap dengan bingkai hiasannya. Atau bisa disebut juga pembuatan Al Quran raksasa, karena ukurannya lebih besar dari Al Quran pada umumnya.
Kaligrafi Tembaga
Selain kaligrafi kuningan, kaligrafi tembaga juga bisa dijadikan alternatif penghias dinding ruangan anda. Dengan warna khas tembaga dapat menjadikan kesan klasik pada kaligrafi tembaga ini.
Kaligrafi Ukir Kayu
Bagi anda yang mempunyai kediaman dengan teknik arsitektur kayu, tentunya akan sangat cocok bila kaligrafi ukir kayu ini menempel di ruangan anda.
Minggu, 12 Oktober 2014
Rahim
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar